Pada dasarnya hujan asam disebabkan oleh dua
polutan udara, yaitu emisi gas Sulfur
Dioxide (SO2) dan Nitrogen
Oxides (NOx) yang keduanya dihasilkan melalui proses pembakaran.
Emisi gas SO2 yang ada di atmosfer berasal dari kejadian alam maupun
hasil aktivitas manusia. Untuk sumber SO2 yang terjadi secara alami
biasanya berasal dari letusan gunung berapi ataupun kebakaran hutan, sedangkan salah
satu sumber pencemar terbesar yang berasal dari aktivitas manusia adalah dari pembakaran
batubara, baik yang digunakan untuk keperluan industri maupun pembangkit tenaga
listrik (Erizal, 2007). Minyak bumi mengadung belerang antara 0,1 – 3% dan
batubara 0,4 – 5%. Ketika bahan bakar fosil melalui proses pembakaran, belerang
tersebut teroksidasi menjadi belerang dioksida (SO2) dan lepas ke
udara. Oksida belerang itu selanjutnya berubah menjadi asam sulfat. (Soemarwoto
O, 1992)
Adanya hujan asam dapat menyebabkan pH air turun di bawah normal sehingga ekosistem air terganggu. Kadar sulfur dioksida yang tinggi di udara telah diketahui dapat mengakibatkan kerusakan bangunan. Meskipun kadar SO2 rendah, kerusakan bangunan dapat masih terjadi. Hal ini dapat diakibatkan adanya peningkatan konsentrasi ozon dan nitrogen di dalam lingkungan perkotaan. Campuran pencemar-pencemar seperti ozon, nitrogen dioksida dan sulfur merusak batu lebih cepat dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh senyawa tersebut secara tunggal.
Emisi gas SO2 telah lama diketahui
dapat memberikan pengaruh yang sangat merugikan pada kesehatan manusia dan
lingkungan. Jika gas tersebut terisap dalam konsentrasi yang relatif besar oleh
manusia akan menyebabkan terjadinya gangguan pada sistem pernafasan, serta
mengganggu sistem kerja jantung. Selain daripada itu, gas SO2 juga
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Akumulasi gas SO2 di udara
menimbulkan hujan asam yang dapat merusak kondisi air danau dan air sungai,
merusak dedaunan pada tumbuh-tumbuhan, dan produk hasil pertanian. Lebih jauh
lagi, pengendapan hujan asam akan mempercepat kerusakan pada dinding gedung dan
monumen yang berbahan, seperti batu kapur, batu pualam, dan sebagainya.
(Erizal, 2007)
Reaksi pembentukan hujan asam:
- SO2 + H2O → H2SO3 (asam sulfit) (1)
- SO3 + H2O → H2SO3 (asam sulfat) (2)
|
Gambar 1. Proses
terjadinya hujan asam
|
Karena keberadaannya yang tergolong berbahaya,
maka diberlakukan suatu aturan untuk meminimalisir keberadaan polutan ini di
lingkungan. Di Indonesia sendiri nilai baku mutu udara untuk SO2 adalah
900 𝜇g/Nm3 (Peraturan Pemerintah RI No 41 Tahun 1999), dan 625 µg/Nm3 (EPA).
Secara konvensional, untuk mengatasi masalah
pencemaran udara gas SO2 pada pembangkit listrik pada umumnya
dilakukan dengan teknologi kering dan basah, yaitu dengan penyerapan menggunakan
kapur atau batu kapur. Walaupun tingkat penyisihan konsentrasi pencemar relatif
tinggi, tetapi masih ada masalah dalam penanganan limbahnya (gipsum, air
buangan dan katalis), biaya tambahan untuk penanganan pencemar dan ruang yang
dibutuhkan relatif besar untuk memenuhi persyaratan dalam proses skala industri
sehingga teknologi ini menjadi kurang baik bagi lingkungan maupun secara
ekonomi. Salah satu teknologi alternatif untuk mengurangi kandungan SO2
di udara yang sedang dipelajari dalam satu dekade ini adalah oksidasi SO2
menggunakan plasma yang dihasilkan oleh berkas elektron (e-beams).
Tabel 1. Penanganan Emisi Gas SO2
Jenis Proses
|
Kelebihan (Konversi %)
|
Kelemahan
|
Flue Gas Desulfurization (FGD)
|
70-95
|
Menghasilkan
limbah baru, butuh pengolahan limbah sekunder, dan tidak ekonomis.
|
Biofilter
|
82,82 - 98,91
|
Biaya sangat tinggi untuk mengoperasikan teknik,
dan pengamatan biomassa.
|
Plasma yang dihasilkan oleh berkas elektron (e-beams)
|
98
|
Biaya tinggi
dan penggunaan X-ray yang
berbahaya.
|
Apa itu Plasma??
Berasal dari bahasa Yunani yaitu plasma, yang berarti “something formed or melded”. Plasma pertama kali diketahui oleh
seorang ilmuan Inggris bernama Sir Willian Crookes (1879). Plasma merupakan zat
paling umum yang bisa ditemui di alam semesta ini. Petir merupakan bentuk
plasma bumi yang terjadi, seperti pada Gambar
2.
|
Gambar
2. Petir sebagai contoh plasma
bumi
|
Plasma dapat juga dikatakan sebagai atom yang kehilangan elektron karena
beberapa atau semua elektron di orbit atom luar terpisah dari atom atau
molekulnya. Hasilnya adalah sebuah ion atau elektron yang tidak lagi berikatan
satu sama lain. (Eliezer, 2001)
Kemampuan muatan positif dan muatan negatif untuk sedikit berpindah dengan
bebas membuat plasma bersifat induktif secara listrik sehingga memberikan
respon yang kuat pada bidang elektromagnetik. Oleh karena itu plasma mempunyai
sifat tidak sama dengan padatan, cairan atau gas dan di anggap sebagai satu
keadaan materi yang berbeda.
Plasma berbentuk gas netral seperti awan, tidak mempunyai bentuk dan volume
terbatas, kecuali dalam kotak tertutup, tetapi tidak sama dengan gas. Dalam
pengaruh medan magnet, plasma mungkin membentuk struktur seperti kawat pijar,
sinar dan lapisan ganda.
Adapun perbandingan
plasma dengan ketiga fasa lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Perbedaan fasa
Parameter
|
Padat
|
Cair
|
Gas
|
Plasma
|
Fasa
|
Memiliki bentuk dan volume tertentu
|
Bentuk mengikuti wadahnya, memiliki
volume tertentu
|
Bentuk dan volume tidak jelas
|
Bentuk dan wadah tidak jelas
|
Partikel pembentuk
|
Tersusun dalam jarak paling dekat (kompak)
|
Tersusun dalam jarak agak renggang
|
Tersusun dengan jarak sangat renggang
|
Tersusun dari gas-gas yang terionisasi
|
Kemampuan berpindah
|
Tidak dapat berpindah dengan bebas
|
Dapat berpindah dengan bebas
|
Dapat berpindah dengan bebas
|
Terbentuk karena adanya perpindahan muatan listrik
|
Energi pergerakkan
|
Rendah
|
Lebih tinggi dari padatan
|
Tinggi
|
Sangat tinggi
|
Perubahan bentuk
|
Dapat dilakukan secara paksa
|
Tergantung wadah
|
Tergantung wadah
|
Bentuknya tidak jelas
|
Suhu
|
< 0oC
|
0 < T < 100oC
|
T > 100oC
|
T > 10000oC
|
(Sumber:
Lieberman dkk., 1994)
Teknologi plasma memiliki beberapa keunggulan, di antaranya dikenal sebagai
teknologi yang ramah lingkungan, murah dan mudah dalam pengaplikasiannya, dapat
digunakan secara berulang kali (Bismo, 2008) dan waktu yang dibutuhkan relatif
singkat (Sugiarto dkk., 2001).
Konsep SO2 Removal dengan Metode Plasma*)
Penghapusan SO2 dengan plasma dari pembakaran bahan bakar fosil
yang mengandung sulfur bergantung pada dua mekanisme, yaitu direct removal dan chemical removal.
1. Direct Removal
Yaitu pemisahan SO2 melalui dampak elektron langsung atau melalui transfer eksitasi dari molekul
lainnya, terutama N2 (A):
e + SO2 → SO + O + e (3)
N2 (A) + SO2 → N2 + SO + O (4)
SO2 + O → SO3 (5)
Tidak adanya proses lain mengakibatkan direct
removal SO2 pada udara kering menghasilkan produk SOx
lainnya (SO, SO3).
2. Chemical Removal
Yaitu penghapusan yang didasarkan pengubahan secara kimia SO2 menjadi spesi yang lebih mudah dihapus dari
aliran gas. Di dalam aliran moist gas,
chemical removal didasarkan pada generasi OH-radikal yang berturut-turut mengoksidasi SO2
menjadi asam sulfat, H2SO4.
OH +
SO2 →
HSO3 k4a = 7,4
x 10-l2 cm3 s-1 (6a)
OH +
HSO3 →
H2SO4 k4b = 9,8 x
10-12 cm3 s-1 (6b)
Dengan ki menunjukkan koefisien laju
untuk mengindikasi proses pada suhu gas 300 K. Karena tekanan kesetimbangan
uap H2SO4 rendah, molekul H2SO4 akan mengembun dari aliran gas sehingga mengakibatkan pembentukan tetesan. Tetesan
ini kemudian dapat dihapus dengan pemisahan partikel dan penghapusan perangkat
(misalnya fabric filters atau debu elektrostatis).
|
Gambar 3. Skema penyisihan SO2 langsung dan kimia dalam aliran gas secara. Penghapusan
secara kimia dioptimasi dengan pembangkitan (generasi) OH (Chang dkk., 1991)
|
Sumber OH adalah reaksi abstraksi hidrogen dari H2O oleh atom O(1D):
Namun biaya yang tinggi serta potensi bahaya dari X-ray mengakibatkan proses ini tidak layak secara ekonomis untuk menyisihkan
SO2 dan NO dari aliran gas. (Jordan, 1988)
Produksi OH-radikal tunggal memerlukan setidaknya 15,5 eV (potensial
ionisasi N2). Dalam perangkat dielectric
discharge seperti DBD, OH dominan diproduksi melalui saluran neutral ditunjukkan dalam persamaan (7).
Kombinasi dengan Plasma Photolysis (CPP) *)
CPP dengan menggunakan pencahayaan UV merupakan salah satu alternatif yang
dapat melengkapi kelemahan pada DBD. Pada kombinasi ini, DBD dalam aliran buang
berfungsi untuk menghasilkan O3 serta fase gas radikal seperti OH,
HO2 dan O. Tingkat pembangkitan O3 bergantung pada daya
yang di-supply ke dalam aliran gas,
komposisi aliran gas (konsentrasi O2 dan H2O), dan
temperatur aliran gas. (Carlins, 1982)
Penyerapan radiasi UV oleh O3 di stratosfer membatasi fluks
radiasi UV ke dalam troposfer (Finlayson-Pitts dan Pitts 1986). Fotolisis O3 dalam produksi O(1D)
terjadi pada panjang gelombang radiasi kurang dari 310 nm, yield quantum yang
dihasilkan > 0,9 (Fairchild dan Lee 1978) seperti yang dijelaskan pada persamaan (7).
Produk absorpti cross section dan
yield O(1D) maksimal dekat pada 254 nm. Setelah diproduksi oleh
fotolisis O3, O(1D) kemudian dapat bereaksi dengan gas H2O
dalam aliran gas untuk membentuk tambahan radikal OH. (Baulch et al. 1982)
O3 +
hv (ʎ < 310 nm) → O(1D)
+ O2 (9)
Reaksi yang terjadi dalam DBD dan CPP ʎ = 254 nm
HO2 +
hv → OH + O (10)
H2O2 + hv → 2OH (11)
O(1D) +
H2O(g) → 2OH (12)
Keberadaan O2 dan H2O dalam aliran gas buang dapat
membantu meningkatkan kosentrasi OH-radikal. (Chang dkk., 1991)
Tambahan radikal OH yang dihasilkan oleh fotolisis UV dari O3
kemudian dapat bereaksi dengan SO2 dan NOx dalam aliran
gas (Calvert dan Stockwell 1984). Oleh karena itu, DBD dan CPP untuk aliran gas
dapat meningkatkan efisiensi penyisihan SO2 dibandingkan dengan
menggunakan DBD tunggal.
*) direview dari:
Chang, Moo Been, Jeanne H. Balbach, Mark J. Rood, Mark J. Kushner. (1991). Removal of SO2 from Gas Streams using A Dielectric Barrier Discharge And Combined Plasma Photolysis. Received 8 November 1990, accepted for publication 15 January 1991.