Saat ini, ketergantungan manusia akan bahan bakar fosil sangat tinggi.
Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ini tidak hanya sebatas sektor
transportasi saja namun juga sektor kebutuhan primer sandang, pangan, dan
papan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan krisis energi. Kebutuhan akan
energi ini masih akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk, kualitas dan taraf hidup masyarakat, serta teknologi. Meskipun
pengembangan teknologi bisa saja menekan kebutuhan energi melalui teknologi
peningkatan efisiensi penggunaan energi. Krisis energi saat ini lebih disebabkan karena krisis cadangan minyak
bumi, gas alam, dan batubara (Phelia, 2011).
Gambar 1. Kurva Konsumsi &Proporsi Penggunaan
Energi Dunia
(Majari Magazine,
2011)
|
Gambar 1. di
atas menunjukkan peningkatan konsumsi energi pertahun sejak tahun 1975 dan
prediksi konsumsi energi hingga tahun 2300. Hingga saat ini konsumsi
energi pertahun dunia adalah 500 x 1015
BTU/tahun. Energi ini sebagian besar diperoleh dari minyak bumi, gas alam, dan
batubara (Phelia, 2011).
Gambar 2. Produksi dan Konsumsi Energi di Dunia
(BP Statistical Review
of World Energy, Juni 2011)
|
Gambar 2. di atas menunjukan perbandingan jumlah produksi dan
konsumsi energi di dunia. Pada tahun 2010, terlihat bahwa jumlah konsumsi lebih
besar dibandingkan dengan jumlah produksinya.
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2004, sudah mengimport
minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Gambar 3). Sehingga, jika
hanya mengandalkan sumber bahan baku fosil saja, maka akan terjadi hambatan
dalam pemenuhan kebutuhan energi secara keseluruhan.
Gambar 3. Kebutuhan dan Produksi Minyak Bumi
Indonesia 1900 – 2025 (Realisasi dan Proyeksi)(Prihandana, 2005)
|
Seperti yang diketahui, bahan baku fosil merupakan bahan baku
yang nonrenewable. Di sini penting
untuk menemukan alternatif bahan baku lain yang renewable. Pengembangan produk-produk oleokimia merupakan suatu
keharusan dan memiliki peran strategis dalam menopang ketahanan energi kini dan
mendatang.
b. Mengapa harus Oleokimia?
Hal dasar yang membuat oleokimia dapat menggantikan produk
petrokimia adalah produk oleokimia bersifat renewable
dan sustainable. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Hill (2000) di mana hasil dari oleokimia menunjukkan bahwa
penggunaan lemak dan minyak nabati memungkinkan pengembangan kompetitif, produk
yang kuat, dan keduanya ramah konsumen (consumer-friendly)
dan ramah lingkungan (environment-friendly).
Selain itu, produk oleokimia mempunyai beberapa kelebihan terhadap produk
pertambangan seperti minyak bumi, misalnya:
-
Oleokimia
berasal dari sumberdaya terbarukan;
-
Oleokimia
lebih mudah terurai secara alamiah (sifatnya ramah lingkungan);
- Produksi petrochemicals menggunakan lebih banyak
energi, sehingga menyebabkan emisi polusi yang lebih besar; dan
- Secara
sosial ekonomi, lebih melibatkan banyak masyarakat sebagai pelaku produksi (Hill, 2000).
Tabel 1.1. Pangsa Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia
No
|
Uraian
|
1993-1997
|
1998-2002
|
2003-2007
|
2008-2012
|
A.
|
Total Produksi/(Ton)
|
70.778.000
|
83.680.000
|
95.622.000
|
108.512.000
|
1.
|
Minyak sawit
|
15.500.382
|
20.752.640
|
25.340.360
|
29.949.312
|
2.
|
Minyak kedelai
|
17.765.278
|
19.915.840
|
22.376.016
|
25.174.784
|
3.
|
Minyak kanola
|
10.121.254
|
11.966.240
|
12.526.744
|
15.517.216
|
4.
|
Minyak bunga
matahari
|
8.351.804
|
9.790.560
|
12.526.744
|
12.044.832
|
5.
|
Minyak lainnya
|
19.039.282
|
21.254.720
|
22.852.136
|
25.825.856
|
B.
|
Total Konsumsi/(Ton)
|
90.501.000
|
104.281.000
|
118.061.000
|
132.234.000
|
1.
|
Minyak sawit
|
15.385.170
|
20.021.952
|
25.973.420
|
29.752.650
|
2.
|
Minyak kedelai
|
17.828.697
|
20.126.233
|
22.313.529
|
25.124.460
|
3.
|
Minyak kanola
|
10.045.611
|
11.783.753
|
13.577.015
|
15.471.378
|
4.
|
Minyak bunga
matahari
|
8.326.092
|
9.593.852
|
10.861.612
|
12.033.294
|
5.
|
Minyak lainnya
|
38.915.430
|
42.755.210
|
45.335.424
|
49.852.218
|
(Oil World dalam Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009)
Dapat dilihat
pada Tabel 1.1. di atas, tren pangsa konsumsi minyak nabati dunia dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan. Walaupun total produksi juga mengalami
peningkatan, hal tersebut belum mampu mengimbangi total kebutuhan dunia.
Tabel 1.2. Kapasitas dan Kebutuhan
Oleokimia Dasar Dunia
(Gis dok. dalam Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009) |
Kapasitas
terpasang industri oleokimia dasar dunia jauh lebih besar dari kebutuhan
oleokimia dunia. Namun permintaan dunia akan produk oleokimia terus meningkat
dari tahun ke tahun. Laju rata-rata kenaikan permintaan oleokimia dunia 5%
pertahun.
Produsen oleokimia
dasar sebagian besar berada di wilayah Asia. Sedangkan pertumbuhan produksi
oleokimia dasar di wilayah Asia sekitar 7,1 % pertahun, disusul oleh wilayah
Amerika 2,4 %, dan Eropa 1,3 %. Secara menyeluruh pertumbuhan produksi
oleokimia dunia hingga tahun 2010 mencapai 3,7 % pertahun (Direktorat Jenderal Industri Agro dan
Kimia, 2009).
Perkembangan produk
oleokimia di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.3. di bawah ini.
Tabel
1.3. Perkembangan Produksi Oleokimia Indonesia 1994–1998 (Ton)
Tahun
|
Stearic Acid
|
Glycerine
|
Fatty Acid
|
Fatty Alcohol
|
Total
|
Pertumbuhan
(%)
|
1994
|
72.417
|
37.020
|
78.882
|
28.561
|
216.880
|
-
|
1995
|
88.349
|
40.722
|
83.615
|
32.296
|
244.982
|
13,0
|
1996
|
106.019
|
44.794
|
90.304
|
37.140
|
278.258
|
13,6
|
1997
|
122.962
|
51.065
|
101.141
|
43.826
|
319.014
|
14,6
|
1998
|
136.115
|
54.172
|
111.255
|
47.116
|
348.658
|
9,2
|
(Badan
Pusat Statistik, 1999)
Jika dilihat dari Tabel
1.3. di atas, terlihat bahwa total produksi di Indonesia-pun mengalami
peningkatan dari tahun ke tahunnya. Sehingga, baik di dunia maupun di Indonesia,
substitusi petrokimia menjadi oleokimia ini sangat dapat berkembang dengan
baik. Jika dilihat dari letak geografis nya, Indonesia memiliki kekayaan alami
baik dengan sumber minyak edible, non-edible, pemanfaatan mikroalga, maupun
penggunaan ulang minyak jelantah sebagai bahan baku oleokimia.
Tabel 1.4. Keunggulan Produk Oleokimia sebagai Pengganti Energi Fosil
Tabel 1.4. Keunggulan Produk Oleokimia sebagai Pengganti Energi Fosil
(Sani dkk., 2012)
0 komentar:
Posting Komentar